Explore India Bagian 1: Perjalanan Dari Chennai ke Agra Demi Melihat Taj Mahal

05.00 AM
Tidel Park

Sopir taxi online telah menunggu di depan Tidel park. Kantor IT ini berhadapan dengan stasiun Throvanmayur, aku berjalan dari guest house selama kurang lebih 10 menit untuk kemudian menemukan plat kendaraan yang tampil pada layar aplikasi. Terlalu pagi untuk mendengar suara bising kereta, begitupun klakson bus dan auto.

“Chennai central, sir”

Sang sopir menekan tombol pick up pada aplikasi smartphone yang tergantung di spion depan tempat Ia mengemudi dan menekan gas mobilnya pelan diikuti dengan pertanyaan singkat yang mengawali obrolan kami hingga sampai di tempat tujuan.

05.25 AM

Chennai Central Station

Hiruk pikuk stasiun mewarnai kedatanganku setelah turun dari taksi. Begitu pula dengan orang-orang, hilir mudik tak henti,keluar masuk stasiun. Hanya saja yang tak nampak tapi sangat jelas terasa ialah debu dan asap knalpot . Matahari belum juga beranjak dari peraduan.

______

Seharusnya aku sudah berada di kereta menuju ke Delhi pada pagi saat sedang berada di Chennai Central. Tiket kereta dari Hydrabad menuju Delhi terpaksa aku batalkan dan memilih untuk langsung menuju Agra. Teman yang seharusnya berangkat bersama dari Chennai Central dua hari sebelum aku berangkat, lewat pesan singkat mengabarkan bahwa dia sedang di perjalanan menuju Delhi. Tiketku dari Chennai ke Agra sendiri di siapkan oleh temanku dari India yang aku kenal selama enam jam saat dia liburan di Lombok. Katanya tiket ke Agra adalah hadiah perjalanan untukku.

_____

Tanpa pemeriksaan khusus, aku langsung masuk menuju platform kereta. Platform 1 adalah dimana pada pukul 06.00 kereta akan tiba. Sedangkan keretaku berangkat 15 menit setelahnya. perjalananku kali ini merupakan pengalaman pertama melakukan perjalanan sendiri. Rasa takut berpergian sudah terlempar jauh sebelum aku bermimpi untuk mengunjungi Negara ini. Namun yang sebenarnya rasa khawatir ketinggalan kereta lah membuat aku berlari untuk mengejar kereta dari ujung rangkaian kereta sampai aling-aling. Memastikan jika kode kereta yang tercantum pada tiketku adalah benar kereta yang akan membawaku menuju tempat yang telah aku impikan bertahun-tahun. Di setiap gerbong, aku membaca nama-nama penumpang dan memastikan ada namaku tertulis di sana. Hal itu aku lakukan 15 menit sebelum keretaku benar-benar tiba.

Tempat dudukku berada tepat di jendela, berhadapan dengan penumpang lainnya. Kursiku dan penumpang dihadapanku merupakan tempat tidur yang sementara terlipat. Sedangkan di atas kami merupakan tempat tidurku yang aku tukar dengan penumpang dihadapanku. Sementara aku memilih tempat duduk yang terlipat tersebut menjadi tempat tidurku. Tepat dekat jendela. Kereta yang aku tumpangi merupakan kereta kelas ekonomi fasilitas AC, Sleeper dan Blanket.

06.15 AM

Siulan khas kereta mulai terdengar diikuti rasa haru dalam hati yang tak kalah degupannya. Akhirnya perjalananku menuju ke Agra dimulai. Aku sendiri akan melewati ratusan kota. Dari Tamil Nadu menuju Utter Paradesh. Perjalanan yang akan memakan waktu sampai 29 Jam. Dalam durasi waktu itu pula aku berada dalam satu gerbong dengan orang yang tak aku kenal. Aku adalah orang asing bagi mereka dan begitu juga mereka adalah orang-orang asing bagiku. Terdapat enam orang lainnya dalam ruang kereta yang kira-kira berukuran 2x3 meter. Empat orang merupakan pemuda, cowok dan cewek masing-masing dua orang terlihat begitu semangat dan satu orang lainnya mencoba mendekatiku. Seorang lelaki yang sepertinya lima tahun lebih tua dariku. Duduk di tepi ruang kereta berhadapan dengan empat orang lainnya. Aku dan mereka terpisah hanya satu meter oleh koridor kereta. Koridor dimana orang-orang berjalan dari gerbong satu ke gerbong lainnya. Begitupula jika para penumpang ingin menuju toilet di gerbong depan dan belakang, tak jarang mereka melewati koridor selebar dua langkah kakiku itu. Sisanya memilih untuk naik ke sleeper yang berada tepat di atas kepalaku.

Langit Tami Nadu sudah mulai terlihat cerah, dari jendela kereta aku melihat hamparan hijau sawah terbentang. Entah ke arah mana keretaku berjalan. Sementara, lewat jendela sesekali aku melihat kondisi masyarakatnya yang masih tinggal di area-area yang kotor dan berdesakan.

_____

Chennai merupakan ibu kota Negara bagian Tamil Nadu di India. Sebagai kota metropolitan terbesar keempat di India, Chennai (dulu bernama Madras) merupakan salah satu tujuan pariwisata di India. Terletak di India Selatan, Chennai mengunakan bahasa Tamil dan memiliki industri film yang besar yang mereka sebut Tollywood. Orang Tamil dikenal ramah dan suka membantu. Mereka sangat ramah dengan orang baru. Begitu yang aku rasakan pertama kali berada di tempat ini.

Chennai central station tidak pernah terlihat sepi. Di ruang tunggu terlihat tidak rapi. Di setiap sudut ruang tunggu platform terlihat entah penumpang yang sedang menunggu kereta atau hanya orang-orang yang sekedar menumpang tidur sebelum mentari tiba. Entahlah, stasiun ini begitu ramai dan padat. Orang-orang tidur sembarang tempat bersama dengan anjing yang berlalu-lalang mencari sisa makanan. Di salah satu sudut di Stasiun yang aku lewati kondisinya sangat bau. Stasiun Chennai central merupakan Pusat Chennai dijadikan sebagai markah tanah simbolik bagi orang-orang di India Selatan karena stasiun tersebut bertugas sebagai gerbang utama bagi setiap orang yang berkunjung ke India Selatan pada zaman penjajahan Inggris. Sekitar 350,000 penumpang memakai terminal ini setiap hari.

____

Lelaki itu berasal dari Kanpur, Utter Paradesh. Dia menghabiskan waktu 4 jam lebih cepat dibandingkan dengan perjalananku menuju Agra. Ia memperkenalkan diri dengan nama Saptarshi. Duduk di hadapanku dan mengambil tempat duduk penumpang yang memilih langsung naik ke sleeper dan tidur seharian di Kereta. Penumpang yang hanya terbangun saat suara petugas datang menawarkan makan siang. Berbeda dengan Saptarshi, Ia lebih suka mengobrol banyak hal, termasuk tentang orang-orang Utter Paradesh terlebih orang Agra. Selain itu dirinya sangat senang memberikan saran-saran yang sebaiknya aku lakukan ketika nanti sudah sampai di Statsiun Agra. Transportasi apa yang sebaiknya aku manfaatkan hingga sampai di Taj Mahal dan kata-kata kunci yang sebaiknya aku katakan untuk meghindari sopir-sopir nakal dan rayuannya di Agra. Saptarshi saat ini sedang menyelsaikan kuliah untuk gelar doktornya di salah satu universitas di Kanpur. Dia ternyata dua tahun lebih tua dariku. Perkiraanku jika dia lima tahun lebih tua dariku ternyata salah.

Orang-orang di India sangat senang bersekolah dan bekerja. Bahkan di desa terpencil pun, tak seorang pun terlihat berdiam saja di rumah. Kalau pun berdiam di rumah, mereka tetap mengerjakan kreatifitas yang bisa menghasilkan uang. Di desa-desa terpencil India tidak semua penduduknya memiliki prilaku hidup kurang bersih. Tapi di beberapa tempat sudah memiliki kesadaran akan pentingnya hidup bersih dan sehat. Di beberapa desa di Chennai misalnya, mereka sudah memiliki cara khusus untuk memanfaatkan limbah klasik seperti sampah plastik untuk dijadikan bahan ekonomis dan berdaya guna.

Saptarsih sendiri mengakui bahwa orang-orang di Utter Paradesh masih sangat kurang dalam hal kesadaran untuk menjaga lingkungan. Banyak tempat-tempat yang masih kotor dan tidak sehat sebagai tempat tinggal masyarakatnya. Prilaku hidup tak sehat pun masih sangat sering mereka terapkan. Selain itu, penduduknya juga tidak ramah dengan orang baru. Hal ini sering terjadi di Agra yang merupakan pusat kota terbesar di Utter Paradesh. Kebiasaan kencing sembarang (kalau hal ini rata-rata di bagian manapun di India) dan buang sampah sembarang merupakan kebiasaan mereka. Begitulah beberapa obralan kami saat berada di kereta. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Makan siang sampai menikmati matahari terbenam di kereta adalah bagian dari perjalanan ku menuju Agra. Malam pun tiba, kami bergegas beristirahat dan menjemput matahari terbit di Utter Paradesh.

____

Di suatu sore yang hangat, satu jam sebelum matahari terbenam. Salah satu dari empat pemuda bernama Vijay sekali memberikan tanggapannya tentang tempat-tempat yang seharusnya aku kunjungi setelah dari Agra. Dia menuliskan rute perjalanan itu pada kertas yang aku sodorkan setelah kami mengobrol. Vijay bekerja di salah satu perusahaan IT terbesar di dunia. Dia baru saja diterima di perusahaan tersebut dan penempatan kerjanya di Jaipur, Rajasthan.

___

05.00 AM

Utter Paradesh

Hanya ada kerlap-kerlip lampu yang terlihat dari jendela. Sementara lampu ruang kereta diganti oleh telepon genggam. Saptarsih sedang bersiap-siap untuk segera turun di stasiun pemberhentiannya. Kanpur Station merupakan pemberhentian berikutnya. Aku pun ikut terbangun untuk sekedar mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal. Hati-hati di Agra, begitu pesannya sesaat setelah kereta benar-benar terdiam bersama dengan turunnya para penumpang dan penumpang lain yang berjam-jam menunggu di stasiun tersebut berlari mencari tempat duduk mereka dengan masuk ke dalam kereta yang behenti hanya 15 menit saja.

____

06.17 AM

Matahari mulai menyeruak, aku memilih beranjak dari tempat duduk dan menuju ke lokomotif. Pagi yang begitu hangat dengan bunyi alat tolak tarik kereta menggantikan suara burung yang biasa aku dengar setiap pagi. Utter Paradesh sudah sejak malam aku lalui. Sebentar lagi, aku akan menginjakkan kaki di negeri kerajaan Mughal. Kota yang menjadi saksi akan besarnya cinta Raja Shah Jahan kepada Mumtaz Mahal. Aku sudah tidak sabar melangkah turun dari kereta di Stasiun Agra.

09.15 AM

Agra

Setelah turun dari kereta, aku langsung beranjak ke sisi kanan. Mengunakan jembatan penyembaragan aku beranjak mencari tempat para Auto (Bajaj) terparkir. Tanpa lelah mencari pun, sudah ada sopir yang menawarkan Autonya untuk aku tumpangi. Kami sama-sama setuju dengan 80 rupee menuju area ke Taj Mahal (bisa lebih murah). Sepuluh menit di Auto aku pun sudah berada di depan gerbang masuk menuju Taj Mahal. Badan terasa lemas, keringat dingin menggenang di dahi dan krongkongan kering ingin minum. Cuaca di Agra sangat panas saat itu ditambah perutku memberontak meminta makan.

10.00 AM

Aku disambut oleh hijaunya taman. Binatang jinak berkeliaran. Sekawanan monyet mencoba mendekati dengan malu-malu dan kemudian berlalu menuju semak-semak setelah itu bergelantungan di ranting pohon. Aku harus berjalan kira-kira satu kilometer dari gerbang masuk menuju tempat pemebelian tiket. Keringat yang bercucuran seiring dengan menguap oleh semangat dan rasa gembira untuk segera menyentuh Taj Mahal.

Ada dua arah, arah kiri adalah 2 KM menuju ke Agra Fort dan Taj Mahal 300 meter ke arah kanan. Aku memilih menuju arah kanan terlebih dahulu dan 100 meter ke arah kiri searah dengan menuju ke Agra fort untuk menitip tas ransel di kantor penitipan barang. Sudah merupakan aturan memasuki kawasan Taj Mahal tidak boleh membawa ransel maupun tas berukuran besar lainnya. Sepanjang jalan setelah menitipkan barang, pemandu wisata lokal di area tersebut selalu mengikuti, merayu agar aku mengunakan jasanya. Tapi, tetap saja aku menolak.

Setelah mengambil nota tanda telah membayar 20 Rupee, kemudian aku langsung menuju tempat pemblian tiket. Tertulis 1000 rupee bagi orang asing dan 300 rupee untuk lokal. Aku antri dibarisan kelima dan menanti giliranku tiba. Cuaca di Agra lebih panas dibandingkan dengan Chennai. Keringat tak pernah henti bercucuran dari celah pori-pori. Petugas memberikan satu botol air mineral dan sarung sepatu. Sarung sepatu inilah yang aku dan para pegunjung harus pakai saat nanti berada di area bangunan Taj Mahal atau di area batas suci. Selanjutnya aku masuk menuju antrian di gerbang kedua. Garis antri dibagi menjadi dua, garis antri untuk pegunjung lokal dan orang asing. Antrian pengunjung lokal lebih panjang daripada antrianku. Jadi tak perlu menunggu lama untuk segera masuk dan menunggu untuk diperiksa oleh bagian keamanan di Pintu Masuk. Setelah dilakukan pemeriksaan kemudian aku perlahan menuju ke pintu masuk selanjutnya. Di setiap sudut berdiri kokoh tembok berwarna merah yang mengelilingi kawasan tersebut. Langkahku sesekali terhenti untuk mengambil beberapa foto. Baik di luar maupun di dalam, di setiap area tempat ini tetap ramai oleh pengunjung. Walaupun terhalang oleh tembok kekar dan khas warna bagunan Kerajaan Mughal yaitu merah. Kubah dan menara Taj Mahal gagah tanpa polesan warna cerah dari kejauhan, putih merona.

Bangunan Taj Mahal gagah berdiri terlihat tepat dari gerbang masuk terakhir dengan kolam dan air terjunnya berada di tengah. Di sisi kiri dan kanan kawasan terdapat rerumputan hijau terawat. Terdapat bangku taman di setiap area taman. Bagian depan dan samping di kelilingi oleh tembok tua nan kekar berwarna merah dengan pilar-pilarnya menjulang rendah. Taj Mahal berdiri di pinggir sungai yang diapit oleh dua bangunan berupa masjid berwarna merah. Hanya Taj Mahal saja yang berwarna putih tanpa polesan warni-warni. Hanya tulisan huruf arab berwarna hitam tertulis di pintu masuk bangunan ini.

Aku melangkah pelan menikmati setiap sudut kawasan yang menjadi saksi sejarah pengorbanan cinta sejati. Cinta seorang Raja ke-5 dari Dinasti Mughal. Bangunan yang dibangun untuk mengenang permaisurinya Mumtaz Mahal. Ia merupakan istri ketiga yang begitu dicintainya. Mumtaz Mahal wafat ketika melahirkan putrinya Gauhara Begum. Melihatnya dari jauh saja telah membuat hatiku terharu. Tak ayal setelah mendekat, emosi dalam hati tiba-tiba berganti. Kedua mataku menitikkan air mata saat aku menyentuh kerasnya marmer Taj Mahal. Kemudian melangkah menyelesaikan anak tangga satu per satu. Memsuki ruangan sedikit gelap namun begitu terasa adam dan lembab. Melihat setiap sudut keagungan yang dibangun atas nama cinta dan kesetiaan. Melangkah dari satu ruang ke ruangan lainnya dan dari satu titik keindahan ke keindahan lainnya. Bangunan yang ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 1983 sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia ini, selain gagah dia pun sangat memikat. Menurut data yang ada tempat ini dikunjungi oleh 7-8 juta pengunjung setiap tahun.

11.30

Cuaca panas Agra belum juga berganti. Semakin banyak air yang aku minum (seperti) semakin banyak keringat yang kemudian membasahi badanku. Aku memilih berteduh dan beristirahat setelah dua kali bolak-balik Taj Mahal. Aku memilih duduk berhadapan sambil melihat pesona Taj Mahal. Berterima kasih kepada Tuhan atas mimpi-mimpiku yang Ia mudahkan. Melihat betapa besarnya pengaruh rasa cinta untuk menciptakan seni yang mengagumkan. Walaupun begitu banyak hal yang dikorbankan tetapi apa yang tercipta merupakan kekuatan rasa cinta itu sendiri.

13.00

Bus Stasiun

Telepon genggamku bergetar. Panggilan masuk dari temanku selama di India. Teman yang membuat aku berada di Agra saat ini. Suara terputus-putus membuat obrolan kami juga putus nyambung. Dari dua menit kami ngobrol dan dari beberapa pertanyaannya. Sepertinya dia cukup heran ketika aku mengatakan untuk melanjutkan perjalanan ke JAIPUR.








Comments

Popular posts from this blog

Tiga Spot Camping Seru di Sembalun

Masjid Jami Saleh Hambali Perkuat Keislaman di Bengkel

Serpihan Surga Itu Bernama Gili Layar