Cinta Tanpa Rindu


Aku duduk membelakangi sebuah bukit yang siang itu puncaknya tertutup awan. Namun matahari masih bersinar cerah bersama dengan dinginnya udara. Suara angin yang menerpa satu persatu daun bambu membentuk suatu harmoni. Suaranya begitu renyah dan khas. Begitu banyak suara terdengar di tempat ini. Ada juga suara yang terdengar dari sebuah pohon yang menjulang tinggi di depanku. Pohon yang berusia ratusan tahun itu kekar dan tinggi menjulang. Di dekat pohon ada sebuah kolam cukup luas. Airnya jernih dan ikan-ikan terlihat jelas sedang berembutan makanan. Aku duduk menghadap kolam sambil melempari bebatuan kecil sehingga pada akhirnya air kolam membentuk riak.

Suara kicauan burung, harmonisasi daun bambu dan air mengalir tak sedikit pun mengusik batinku. Karena ketika aku duduk, aku hanya tergiang suaramu menyapa. Kita bahkan telah sepakat akan bertemu sebelum sinar matahari memantul di kolam. Tak banyak alasan kenapa aku rela menghabiskan waktuku di sini hanya untuk menunggumu. Melainkan hanya untuk melihat bahwa kamu masih tetap bahagia. Katamu pertemuan kita ini sekaligus akan membuatmu rindu. Padahal tidak jarang kita selalu menghabiskan waktu bersama di sini. membahas dari hal yang indah sampai hal yang menakutkan. Tentang seorang nenek penunggu pohon yang tiba-tiba muncul dan kemudian menghilang. Katamu nenek itu tidak jahat seperti penunggu pohon lainnya. Dia hanya ingin tak seorangpun yang boleh menebang walaupun hanya seutas dari ranting pohon tua itu. Pohon tua yang menjadi sumber kehidupan bagi desa. Pohon itu tak sedikitpun terlihat menyeramkan. Aku merasakan betapa pohon memberikan begitu banyak harapan. Selain kehidupan pohon ini juga memberikan begitu banyak rasa. Pohon ini juga tempat aku menyimpan rasa cinta. Setiap saat rasa itu tumbuh dan hidup seperti pohon ini. Aku dan kamu sama-sama meyakini selama pohon masih tetap tumbuh dan ada, maka kehidupan masih akan tetap bermuara. Begitu pula aku, semakin sering kita berjumpa semakin dalam rasa rindu tumbuh di dada. Kalimat-kalimat yang kita rangkaikan sampai kadang membuat kita lupa untuk menyirami kebun tak jauh dari tetap kita menghabiskan waktu bersama.

Hembusan udara dingin terasa menyeruak lewat sela pori-pori. Matahari semakin meninggi. Bulir keringat dari dahiku keluar disela dinginnya udara siang itu. Namun tak tampak sedikit pun langkahmu menyeruak. Berulang kali aku tegaskan bahwa tak ada rasa menyesal hatiku menghabiskan waktu menunggumu di sini. karena melihat matamu setiap hari adalah keinginan besarku. Aku menyeka keringat dengan telapak tangan kanan sambil aku mengusap wajah yang tak peduli akan lelah untuk tersentuh panas dan udara dingin. setelah mengusap wajah, di seberang kolam seperti sebuah fatamorgana, aku melihat kamu berdiri sambil tersenyum menatapku. Aku membalasmu dengan senyum. Aku begitu bahagia. Bahkan jika bisa, aku ingin berjalan lurus ke tempat kamu berdiri dengan berjalan langsung dari atas kolam. Namun itu tak mungkin bisa. Rindu ini sudah terlalu berat. Tentu ini akan menenggelamkan ku ke dasar kolam.

“Maafkan aku, kamu menunggu lama” katamu lirih

“Kamu baik-baik saja” tanyaku

“Aku membawakan sesuatu untuk kamu simpan dan pakai” sambil menuduk kamu memberikan gelang kayu warna merah untukku

“Aku ingin kamu memakai ini di tangan kirimu” pintamu

Aku tetap menggenggam gelang pemberianmu sambil aku berusaha ingin menatap mata sejukmu. Ratih begitu aku sebut namamu. Kamu adalah sosok yang riang dan penuh semangat. Di dalam kelopak matanya ada berjuta cinta yang Ia simpan. Sehingga jika aku menatapnya, begitu menyejukkan jiwa. Hal itulah yang membuat aku tak pernah lelah jika hanya untuk menunggu kehadirannya. Kedua matanya lah yang selalu membuat rindu.

Namun, pertemuanku kali ini tak seperti biasa, Ratih seperti tak ingin membagi cinta yang ada di dalam dirinya. Ia menunduk dan menyembunyikan keindahan dari matanya. Sesekali tangan kanan Ratih menutup kedua matanya. Tangannya terlihat basah.

“Ratih, kamu kenapa?” tanyaku panik

Pertanyaanku membuat suara tangisnya semakin bergetar. Aku mencoba membuat dia bercerita.

“Aku akan merindukanmu, Tal” jawabannya membuat perasaanku semakin bertanya-tanya. Tetapi paling tidak ada jawaban yang ia berikan terhadap apa yang Ratih rasakan.

“Aku juga akan dan selalu merindukanmu” balasku polos

Tangis Ratih semakin kencang ketika mendengar kepolosanku. Sungguh aku tak tahu jika jawaban polosku akan membuat air matanya semakin mengalir deras. Tak ada maksud sedikit pun untuk menyakiti hati Ratih ku tersayang. Tentu saja aku tak mau jika ada luka yang tergores di hatinya karena kalimat dariku.

Dedaunan kering lepas dari rantingnya. Kini tak terdengar lagi kicau burung. Satu persatu burung itu terbang meninggalkan dahan. Matahari tak lagi panas. Namun udara terasa semakin dingin. Suara tangis Ratih sudah mulai reda. Pipinya terlihat memerah. Seperti warna matahari saat itu. Sebelum aku dan kamu sama-sama meninggalkan pohon dan kolam sebelum petang menerpa. Aku memohon padamu untuk menjelaskan makna dari tangismu.

“Maafkan aku Artal, aku tak bisa lagi bertemu denganmu” jawabmu

“Tapi kenapa?” tanyaku lesu

“Kamu sudah bukan menjadi bagian dari hatiku lagi, Tal. Aku telah memilih orang yang mau menghabiskan seluruh waktunya untukku.”

Aku terdiam tanpa tahu kenapa Ratih yang selama ini selalu berdua di tempat ini denganku tiba-tiba berkata seperti itu. Bahkan aku tidak yakin jika kalimat itu keluar dari bibir mungilnya.

“Sungguh aku tak paham kenapa kamu mengatakan ini?”

“Ya, kamu tidak akan pernah paham. Karena yang kamu tahu tentang aku yang tak pernah menjadi prioritas utamamu. Hanya aku lah yang membuat dirimu sebagai sesorang yang paling aku saying. Tetapi, tidak pernah sedikit pun waktu luang untuk kamu mecariku. Kamu tidak sungguh-sungguh rindu padaku, Aktal.” Sahutmu penuh kesedihan

“Aku sudah cukup untuk berkorban waktu hanya untuk mencarimu, sementara kamu hanya diam dan menungguku mendatangi tempat ini. Tak adapun pernah terlintas di hatimu untuk datang menghampiriku.” Lanjutmu penuh sesal

Sementara itu aku hanya terdiam, kata-katamu membuat sekucur tubuhku lemas. Mataku terasa meledak dan hatiku seperti tertarik oleh akar-akar pohon. Tubuhku yang lemas kemudian terasa seperti terjerat olehnya.

“Kamu memiliki rasa cinta namun tidak diberangi oleh rasa rindu. Menurutku itu percuma Aktal, karena aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya dicari dan dirindu. Aku menunggu namun kamu tak kunjung datang padaku.”

Tubuhku yang lemas terjerat akar, kini sudah semakin layu. Aliran darahku telah mati, semua organ tubuhku seperti menyembur keluar. Aku tak bisa merasakan udara dingin menjelang petang, aku bahkan tak mendengar kicauan burung saat malam akan datang. Semua sudah tak lagi terlihat ada. Aku sudah tak mengenal apa-apa.
***

Kata yang kamu ucapkan telah merubah logika dan rasa di dalam hatiku. Diriku telah terjerat akar pohon, tempat dimana aku selalu menunggumu. Semenjak itu, aku tak pernah tahu kata kembali pulang. Aku terus duduk di bawah pohon, tak peduli dingin bahkan panas. Aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Akar pohon telah menjerat jiwaku. Kini tidak ada lagi cerita tentang hantu nenek yang ada di pohon. Karena sekarang pohon telah menjadi aku dan aku lah cerita yang tercipta oleh pohon itu.






Comments

Popular posts from this blog

Masjid Jami Saleh Hambali Perkuat Keislaman di Bengkel

Tiga Spot Camping Seru di Sembalun

Menikmati Serunya Snorkeling di Gili Petelu