Kartu Pos

Pagi itu terdengar begitu sibuk, deru suara mesin perahu nelayan seolah menyemangati semua orang yang mendengar untuk segera melihat keluar sana. Suasana mulai sedikit terang, udara dingin saat fajar tidak membuat kulit ini manja, dan dedaunan terlihat lebih segar dengan tetesan embun terperangkap di dalam katupnya. Aku ingat saat kecil dulu, rerumputan di halaman rumah yang diselimuti embun pagi aku selalu menyapunya dengan tanganku. Saat itu aku merasa jika rumput terus menerus di selimut embun maka dia akan kedinginan.

Tiga hari memang tidak cukup untuk mengenal lebih jauh tentang keramahan jiwa-jiwa yang ada di pesisir pantai ini. Ada begitu banyak kehangatan yang berada pada frekuensi yang sama denganku. Sehangat matahari pagi yang memecah gagahnya Gunung Rinjani setiap paginya. Aku duduk di ujung dermaga dan mencoba meraih novel di dalam tas selempang ku. Novel itu aku ambil begitu saja dari rak buku kayu ku untuk mengisi waktu senggang di saat berada di ujung timur pulau Lombok ini. Matahari sudah mulai menyeruak tanpa tahu malu, aku ingin sepertinya gumamku dalam hati. Matahari selalu percaya diri walaupun disaat pertama kali ingin memperkenalkan dirinya dengan pagi, alam dan seisinya.

Buku yang telah diraih dari dalam tas selempang, sementara aku letakkan di samping kiri ku. indahnya matahari terbit pagi itu membuat tanganku reflek mengambil kamera pocket dan kemudian merekam beberapa gambar. Buku yang telah aku anak tirikan beberapa saat itu, aku raih kembali. Aku memilih mencari tempat duduk yang lain dari tempat duduk sebelumnya. membelakangi matahari terbit, sehingga pundakku juga terasa hangat. Di dalam buku terselip sebuah kartu yang membuat rasa penasaran tiba-tiba kambuh. Berada pada berlembar-lembar halaman buku, kartu itu tetap terlihat dominan. Kartu pos berwarna kuning. Bergambar tarian tradisional dari daerahnya, Jogjakarta. Kartu pos dari sahabatku, ya, sahabatku. Kami hanya menghabiskan waktu selama dua minggu untuk mengikrarkan diri sebagai seorang sahabat. Kami menyebut kartu pos sebagai catatan kecil para pemimpi seperti kami. Kartu pos yang aku terima pertama kali dalam hidupku. Tidak ada pesan tentang betapa dia rindu kepada sahabatnya tertulis di kartu itu. Hanya saja quote yang tertulis di kertas berukuran 4x6 inch itu membuatku tersenyum dan mengingat kembali mimpi-mimpiku. Bermimpi bertemu di puncak harapan, sehingga bisa melihat dunia lbih luas, melukis garis cakrawala dan menyimpan sebagai sebuah kenangan.

“Our dreams are our own, and only we can know the effort required to keep them alive” – Paulo Coelho –

Begitulah quote yang tertulis di kartu pos itu. Berawal dari buku novel yang kami baca dan penulis yang sama-sama kami sukai. Membuat persahabatan itu diikrarkan. Sama halnya dia, aku juga butuh seorang sahabat untuk berdiskusi dan berbagi. Andhi memang nerds, pernah kami mengobol lewat skype dan aku lihat latar di belakangnya adalah buku-buku yang tertata di temboknya. Aku tidak tahu persis koleksi bukunya, aku pun tidak pernah bertanya buku apa saja yang dia koleksi. Tetapi, Andhi pernah bercerita kalau dia suka membaca buku psikologi social dan spiritual. Berbeda dengan aku yang hanya pengidap bibioholisme. Namun, kesukaan kami pada penulis dari Brazil itu membuat komunikasi kami jadi lebih sering. Kami mengobrol tentang detail dari perjalanan sebuah buku dan kemudian berakhir pada sebuah obrolon tentang mimpi-mimpi untuk berada pada sebuah puncak. Puncak yang lebih tinggi dari Gunung Everest bahkan lebih tinggi dari awan cirrus.

Panas matahari sudah mulai terasa, awan pun sudah mulai terlihat jelas di biru langit yang maha luas. Perahu nelayan terlihat kembali ke pesisir. Nelayan beberapa ada yang terlihat sudah bertenger di keramba lobster mereka. Sementara itu, Eza masih sibuk dengan kamera untuk mengambil kesibukan nelayan sekitar. Kartu pos itu kembali aku simpan di sela-sela lembaran buku itu kembali. Walaupun pada selipan yang berbeda dengan dimana aku pertama kali mengambilnya.

Seperti matahari yang terbit lalu tenggelam, sepertilah aku mendapati diriku ketika melihat kartu pos itu. Ketika aku berjalan, aku merasakan pertanda tentang hal ini akan terjadi kepadaku kelak. Mengingat kembali sahabatku melulai kartu pos, atau memiliki sahabat baru dengan cara yang sama atu mungkin dengan kisah yang berbeda. Tetapi aku tetap merasakan pertanda tentang adanya skenario kartu pos di dalam kisah itu. Cerita tentang kartu pos ini tak akan pernah lekang walaupun jaman sedikit demi sedikit ingin menggerusnya. Kartu pos akan abadi, abadi bagi seorang pemimpi.



***

Pesawat yang aku tumpangi landing pada pukul 7:15 WIB, aku masih belum mau untuk mengaktifkan handphone sebelum pesawat benar-benar udah terhubung dengan peron. Aku tidak perlu sibuk dengan baggage karena memang aku hanya memakai tas ransel dan sling bag untuk menyimpan barang-barangku.

Ponsel ku sudah mulai terasa getarannya, pesan masuk di WhatApps sudah puluhan. Aku memiliki lima group di WA, salah satunya group untuk kandidat beasiswa yang aku ikuti, inilah alasanku kali ini berada di kota para pemimpi ini. Apabila aku bertanya kepada teman-temanku tentangnya, mereka selalu menjawab kota ini crowded dan macet parah. Bagiku berbeda, kota Jakarta adalah kota untuk para pemimpi. Kedatanganku tentu akan menambah populasi pemimpi di kota ini. Bukan aku saja, tetapi pemimpi dari kota lainnya. Termasuk 50 orang temanku yang mengikuti interview beasiswa ini tentunya.

Aku pun membuka WA, aku tidak focus pada pesan yang masuk di group-group. Ada pesan yang aku rasa lebih penting untuk di respon.

“ sudah sampai bandara, Fand?” pesan dari AL

“Ya, ini baru mau keluar. Tunggu di Terminal 1 A ya, bro.” balas aku lumayan panjang

“Oke, See you soon” balasnya

Aku pun keluar dan menunggu di depan Terminal sesuai pesan yang telah aku kirim. Karena aku tidak menemukan tempat duduk kosong, aku pun berdiri di depan toko makanan fast food.

“hi…” Al memberikan sapaan dengan memyentuh punduk dari belakang

“Hello Al” menjabat tangannya

Sudah hampir 4 tahun aku tidak pernah ketemu AL, setelah program beasiswa belajar singkat kami usai.

“How was your flight?” tanyanya langsung

“Lancar, cuacanya juga bagus.” Jawabku singkat

Kami tidak terlalu banyak mengobrol saat ketemu, karena memang komunikasi aku dengannya terjalin dengan baik. Jarak saat ini seolah-olah sudah tidak menjadi masalah untuk mempererat silaturahmi. Fitur-fitur yang terinstal di android sudah memudahkan kami.

“Dalam rangka apa kamu ke Jakarta, Fand?” Tanya Al

“Interview beasiswaku” jawabku singkat

“Ikut beasiswa apalagi, Fand? Mending kamu focus projectmu deh, bukankah bermanfaat untuk orang lain lebih penting daripada harus mengejar untuk sekolahmu lagi?” Al berkata seolah-olah menyesali keberadaanku di Jakarta

“Aku masih ingin mengejar mimpi-mimpiku Al, karena aku yakin mimpiku masih bisa aku raih” jawabku yakin.

Tidak ada perdebatan antara aku dan Al. Temanku ini sudah sedikit memahami semangat ku untuk mengejar mimpiku. Aku sudah berada di sini, sudah membuatku merasa lebih dekat lagi dengan impianku. Impian untuk bersekolah di salah satu Universitas yang ada di Amerika sana. Kali ini aku tidak mau gagal, kali ini aku harus menunjukan aku pantas untuk mendapatkan apa yang ingin aku raih sehingga aku berada di kota ini. Mimpi-mimpiku ini sudah menyelimuti seluruh tubuhku dan keyakinan sudah mengalir di setiap urat nadiku. Keyakinan untuk mendapatkan apa yang aku ingikan. Sekali lagi aku tidak mau gagal, aku telah menyiapkan untuk bisa berada di sini sejak lama. Tuhan pun tahu apa yang telah aku lakukan agar aku bisa menjadi satu diantara 50 orang yang menambah jumlah pemimpi di kota ini. Aku semakin bangga ketika tahu, aku berhasil menyisihkan ribuan pelamar untuk bisa jadi kandidat di beasiswa ini. Ketika aku yakini mimpi-mimpiku, Tuhan akan memberikan jalan untuk aku meraihnya.

Aku dan Al akhirnya berpisah di stasiun, aku membernaikan diri untuk mencoba menumpangi kereta untuk menapaki jejak kakiku di kota Jakarta. Saat itu kereta dalam keadaan sepi. Aku bisa mengambil tempat duduk paling tidak beberapa menit sebelum kereta berhenti di stasiun lainnya. Sehingga nanti aku akan berdiri ketika ada penumpang yang lebih membutuhkannya. Kesempatan itu aku gunakan untuk membaca pesan yang telah masuk di WA group. Beberapa temanku sudah sampai di hotel dan sedang beristirahat di kamarnya. Begitulah isi pesan yang aku baca. Aku selalu senang membaca pesan di group beasiswa ini, selalu ada energy positif yang masuk ke dalam diriku. Aku selalu merasa menjadi orang yang paling beruntung karena selalu di keliling orang-orang yang luar biasa. Itu salah satu penyemangat buatku agar menjadi orang yang luar biasa juga. Bapak ku selalu menasehatiku waktu remaja dulu, untuk tidak terlalu ambisius menjadi orang. Apabila aku ingin meraih mimpiku aku harus mengimbanginya dengan meningkatkan kemampuanku. Itulah yang aku ingat sampai saat ini dalam hidupku.

Suara rel kereta membuyarkan lamunanku. Himbuan mesinis atau siapa, aku tidak tahu. Suara itu membuatku sadar ternyata perjalananku sudah sampai di pemberhentian akhir. Namun, ini adalah awal bagiku. Langkah awal menuju mimpi-mimpiku. Mimpi anak kampung. Aku tidak sabar bertemu dengan teman-teman virtualku. Para pejuang lainnya. Paling tidak nanti aku bisa belajar banyak hal dari mereka. Aku hanya mengenal mereka melalui dunia virtual saat ini aku bertemu dengan mereka. Mereka baik dan cerdas. Mereka telah melakukan banyak hal sehingga kami bisa bertemu dengan mereka. Jika dibandingkan denganku. Aku merasa hanya setitik abu vulkanik yang terhempas jauh. Sehingga aku bertemu dengan mereka. Sudahlah, aku tidak mau membanding-bandingkan. Bukankah tujuan kami sama. Berkompetisi untuk meyakinkan juri kalau kita memang pantas untuk mereka pilih.

Aku memilih istirahat di kamar hotelku dan membaca kembali essai yang telah aku tulis. Interviewku terjadwal pada sore hari. Aku sudah mempersiapkan segela sesuatunya. Dari baju yang aku akan pakai. Arah sisir rambutku. Sedetail itu aku persiapkan semaksimal mungkin. Karena bukan hanya bisa menjawab pertanyaan mereka. Penampilan juga menjadi focus penting bagiku. Aku meyakini aku telah mempersiapkan ini dengan baik. Aku akan mendapatkan beasiswaku. Teman-temanku juga berkata seperti itu. Aku pantas untuk mendapatkan beasiswa ini. Setidaknya itu membuatku semakin yakin bahwa jalan mimpiku memang di sini. Mimpiku memang sudah mengalir bersama darahku. Ke hati dan otakku. Mengalir membasahi seluruh arteri. Memperdaya setiap langkahku. Membunuh setiap penyakit di dalam tubuhku. Mimpiku seperti antibody yang siap melawan virus. Ketika aku berkeringat mimpiku menjadi nutrisi dan cairan untukku. Ketika aku lelah dia seperti sandaran buatku. Selimut ketika aku telah letih. Aku sudah tergila-gila dengan mimpiku. Sampai hari itu tiba. Aku merasa puas karena menjawab pertanyaan dengan manis. Membuat juri mengomentari peampilanku. Baju batik yang aku kenakan. Aku merasa akulah yang mereka cari. Akulah orang yang selama ini terlahir untuk mereka pilih. Aku lah yang pantas mendapatkan tropi beasiswa itu. Interview itu diakhiri dengan jabat tangan. Meninggalkan ruangan dan menunggu pengumuman bahwa kemenangan adalah milikku dua minggu kedepan.



***

Ponselku berdering. Telepon dari seorang teman. Nuri memberikan kabar bahwa dia telah menerima email dari panitia beasiswa. Suara nya terdengar sedih dan kecewa. Aku berusaha untuk bersikap tenang dan menanyakan apa yang terjadi. Apakah sekarang sudah dua minggu setelah wawancara itu? Nuri berusaha tegar. Aku bisa membaca dari kalimat yang dia ucapkan. Katanya dia menerima kegagalannya. Lalu bagaimana dengan aku? Aku banyak mengobrol dengan Nuri. Wanita keren yang pernah aku temui. Prestasi bejibun. Projectnya dengan NGO itu tentu akan sangat menguntungkan dia untuk mendapatkan beasiswa itu. Aku tidak percaya itu terjadi padanya. Ini tidak mungkin. Bergegas aku mengambil ponselku dan merefresh email berulang kali. Namun, tidak ada satupun email yang masuk ke mail box. Di group WA sudah ramai. Ponselku tiap detik bergetar. Beberapa temanku bersamaan memberikan informasi kegagalannya. Begitu juga yang lulus beasiswa itu. Mereka berlomba-lomba memberikan kabar. Mereka bahagia, tegar dan ada pula yang merespon biasa saja. Namun, aku yakin dia jingkrak-jingkrak, berteriak sendiri di kamaranya. Lalu bagaimana dengan aku? Apakah statusku?

Sudah berminggu-minggu aku tidak mendaptkan kabar. Aku tidak bisa menunggu lama. Aku merasa pantas seperti teman-temanku yang berbahagia itu. Aku juga ingin memberikan berita bagus buat mereka. Aku harus lulus. Aku telah mempersiapkan ini dari waktu yang lama. Setiap hari pekerjaanku adalah me-refresh email tiap satu jam. Jika ada pencarian rekor terbaru, mungkin rekor itu aku jatuh kepadaku. Tetapi kalau pun ada, aku tidak mau rekor itu. Aku hanya mau beasiswaku. Begitu banyak hal yang aku telah perjuangkan demi beasiswa itu. Aku memang sudah tergila-gila dengan beasiswa itu.

Berminggu-minggu email itu tak kunjung datang. Wajahku telah terlihat berjerawat. Pencernaanku terasa kurang bagus. Padahal aku telah melakukan ritual agamaku secara baik dan benar. Doa-doa selalu terpanjatkan. Tetapi, email itu tak kunjung datang. Surat cinta itu tidak lagi menyapaku. Ya Tuhan! Apa dosaku padamu, sehingga mimpiku Engkau tunda-tunda seperti ini. Hatiku Engkau gantung. Jiwaku Engkau buat nelangsa. Engkau tahu aku begitu mengharapkannya. Lalu kapan berita itu akan datang kepadaku?

Kesedihanku terpecah oleh pesan yang masuk ke ponselku. Pesan dari kakak perempuanku. Entah darimana dia tahu tentang kesedihanku. Mungkin ini bagian hunungan perasaan antara seorang adik dan kakak. Kakaku wanita perasa dan selalu tahu masalahku. Seolah menjawab pertanyaanku. Begini SMS nya “Patient deq, it’s yours when it’s yours, let everything fall into its place.”

Selesai

Comments

  1. Replies
    1. Terima kasih ya.. :0. Tunggu update cerpen lainny

      Delete
  2. Tulisannya serius gus, keep up bro. saya pelanggan setia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you Fer sudah mampir di blogku ya. Entar di-tag pada cerpen lainnya.

      Delete

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung di blog saya

Popular posts from this blog

Masjid Jami Saleh Hambali Perkuat Keislaman di Bengkel

Tiga Spot Camping Seru di Sembalun

Menikmati Serunya Snorkeling di Gili Petelu